Kritik
Sastra “Biola Tak Berdawai”
MENGKRITISI SEBUAH KARYA
SASTRA
MELALUI EMPAT PENDEKATAN UTAMA
Nama
: RISKI PRATAMA
Data
Karya Sastra:
Novel Berjudul : “Biola Tak Berdawai”
Pengarang : Seno Gumira Ajidharma
(Adaptasi Film BiolaTak Berdawai)
Penulis Skenario Sekar Ayu Asmara
Tahun Terbit : 2004
Tebal buku : 198 halaman
PENGANTAR
Secara garis besar, berbagai macam
pendekatan terhadap karya sastra yang berkembang dalam studi sastra, menurut
Abram (Wiyatmi, 2006:78), terdiri dari empat pendekatan utama, yaitu pendekatan
(1) mimetik, (2) ekspresif, (3) pragmatik, (4) objektif. Keempat pendekatan
tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan
seperti pendekatan struktural, semiotik, sosiologi sastra, resepsi sastra,
psikologi sastra, dan moral.
Lewat makalah ini penulis akan mendekati Novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno
Gumira Ajidharma dengan keempat pendekatan utama tersebut. Pengkajian diawali
dengan mengetengahkan sinopsis, teori tiap pendekatan dan kemudian “membedah” novel
dengan pendekatan yang bersangkutan.
SINOPSIS
Renjani meninggalkan Jakarta, untuk
mengubur masa lalunya dan keinginannya untuk menjadi penari balet. Ia pindah ke
Yogya dan mengabdikan hidupnya dengan merawat anak-anak tuna daksa yang tidak
dikehendaki orang tuanya. Ia dibantu oleh seorang dokter berumur 40 tahun. Mbak
Wid. Dewa 8 tahun, menjadi anak kesayangan Renjani dan diperlakukan sebagai
anak normal. Renjani terkejut melihat reaksi Dewa, ketika iseng-iseng menari
balet.
Hal ini yang membuatnya membawa Dewa ke resital biola. Disitu ia berjumpa
dengan Bhisma, mahasiswa musik, 23 tahun. Bhisma tertarik pasa penampilan
Renjani dari situlah persahabatan terjalin.
1. PENDEKATAN MIMETIK
Karya sastra tidak lahir dari situasi
kosong budaya (Teew, 1980:11). Novel ini didekati secara mimetik. Pendekatan
mimetic memiliki pandangan bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan
atau dunia ide. Bagian refleksi sosial budaya menjadi bahan kajian pendekatan
ini. Berikut ini akan disajikan synopsis, analisis dan penilaian terhadap novel
“Biola Tak Berdawai”. Sebuah novel yang ditulis oleh Seno Gumira Adjidharma
yang sebelumnya berbentuk Film yang skenarionya ditulis oleh sekar Ayu Asmara.
Berikut ini lewat pendekatan mimesis kita akan meninjau apakah ada kesesuaian
antara dunia nyata dengan dunia ide atau apakah karya ini merupakan cerminan
dunia nyata.
TANGGAPAN
Latar realitas bagi novel ini kondisi
Yogyakarta, lebih luas lagi Indonesia tahun 2002. Sebuah peradaban yang
diwarnai dengan penurunan nilai-nilai moral. Ketika dunia diterjang arus
globalisasi sekaligus dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya.
Berbagai bentuk pelanggaran menjadi menu harian berbagai media. Termasuk
kasus-kasus pembuangan bayi menjadi liputan berita. Sering terjadi bayi-bayi tersebut
sebagai hasil hubungan gelap. Ada juga bayi-bayi yang dibuang karena dianggap
sebagai aib entah karena lahir cacat atau karena kelahirannya tidak diinginkan.
Tidak jarang juga terjadi pengguguran
kandungan atau abortus. Secara etika moral dari saat pertama zigot sudah
mempunyai identitas genetis. Semua yang dilakukan di dunia harus menyatakan
bahwa dalam arti tertentu mereka beradaa pada saat pembuahan, walaupun embrio
muda belum mempunyai identitas persona. (Bertens, 2003:114).
“Kamu buang anakmu?! Sinting kamu Renjani! Kamu gugurkan anakmu ya? Iya
Renjani?! Iya?!” (hal 54).
Tokoh Renjani seorang sosok yang pernah
menggugurkan kandungannya. Kendati bayi tak berdosa tersebut harus terbentuk
akibat hasil perkosaan seharusnya sang bayi memiliki hak untuk hidup. Tetapi
tidak terlalu mudah bagi Renjani menerima begitu saja bayi yang tidak
diinginkannya itu berkembang dalam rahimnya. Demikianlah dalam kegalauan yang
mendalam ia memilih mengakhiri kehidupan sang embrio dari rahimnya.
Moralitas menentang abortus demikian
pendapat Soe Tjen marching dalam tulisannya yang bertajuk: “Aborsi, pro life
atau pro choice” kompas, 7/7/2003 melibatkan diri dalam suatu diskusi
aktual…Pembicaraan ini mengakibatkan pro dan kontra antara legalisir VS anti
abortus. Masalahnya adalah apabila kehamilan tidak dikehendaki misalnya karena
hasil perkosaan, si wanita tidak menginginkan kehamilannya, di sisi lain janin
dalam kandungan juga mempunyai hak hidup. Maka timbullah polarisasi tajam
antara pro-chice (pro pilihan) dan pro-life (pro kehidupan) (Bertens, 2004:
139).
Konflik ini diangkat oleh Sekar Ayu Asmara dalam Film Biola Tak Berdawai, yang
akhirnya di Novelkan oleh Seno Gumirah Ajidharma.
Memang bayi Cempaka adalah bayi kesekian yang diletakkan di muka pintu
pagar…tentu kita masih boleh terheran-heran, jika bayi-bayi tuna daksa dibuang
karena keganjilan bentuk upanya, maka alasan membuang bayi yang bukan saja
sehat, tetapi juga cantik, montok, dan membuat bahagia setiap orang yang
memandangnya? Apakah pembuang bayi itu orang- orang miskin yang kurang
pengetahuan? Sepanjang pengalaman pak Kliwon, hanya sekali terjadi da bayi
diletakkan seorang pejalan kaki yang datang mengendap-endap di pagi buta.
Selebihnya selalu diturunkan dari mobil, yang tidak jarang mewah, dan banyak
juga yang nomornya dengan awalan B: mobil-mobil Jakarta. Bahkan Pak Kliwon
merasa pernah mengenali wajah salah seorang dari mereka, sebagai wajah yang
sering muncul di layer TV. (hal.25).
Fenomena lain diangkat dalam Biola Tak berdawai ini adalah maraknya pembuangan
bayi-bayi tak berdosa. Ada yang dibuang di tempat sampah. Ada pula yang
diletakkan di depan pintu panti asuhan. Fenomena memprihatinkan ini membawa
sebuah kontras yang sangat jelas antara semangat cinta kasih dan
ketidakpedulian dalam dalam setiap detil alur cerita novel ini.
Kesimpulan
Gambaran fenomena yang dimuat di dalam
novel “Biola tak berdawai” tidak jauh dari realitas sosial yang terjadi saat
ini. Hampir setiap hari media massa, baik berupa media cetak maupun televisi
menayangkan kasus pembuangan bayi dan abortus. Pergaulan bebas dan
ketidakpedulian terhadap nilai-nilai hidup menjadi salah satu penyebab
terjadinya pelanggaran ini. Di sisi lain
diantara keprihatinan yang kian memuncak masihkah ada insan-insan yang
menghargai kehidupan seperti sosok Renjani? Renjani yang dulu pernah jatuh
dalam pelanggaran pemusnahan sebuah hidup. Pengguguran. Kendati janin itu
merupakan hasil perkosaan. Ketidakberdayaannya menerima kehidupan yang lain itu
hadir dalam rahimnya membawanya pada suatu bentuk kehidupan yang lain. Yang
sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Meninggalkan gegap-gempitanya hidup
sebagai penari balet dan mengasingkan diri merangkul jiwa-jiwa tak berdaya,
mendekap biola-biola tak berdawai hingga samara-samar bunyinya terdengar
kerelung-relung hati terdalam seorang manusia yang berhati. Kontas antara cinta
dan ketidakpedulian terpampang jelas dalam novel ini. Satu hal yang terlalu ideal
dalam novel ini adalah: totalitas seorang Renjani yang sudah sangat langka
ditemukan pada zaman ini. Kalau pun itu ada pengabdian yang setotal ini hanya
ada satu pribadi dalam satu dekade, misalnya: pengabdian penuh cinta Beata
Theresia dari Calcutta yang berjuang untuk orang orang miskn dan penderita
kusta di India. Totalitas seorang Renjani menjadi semacam bius penghilang rasa
sakit atau peri penolong dari negeri dongeng pengantar tidur di saat dunia
zaman ini semakin terkoyak oleh kaburnya penghayatan nilai-nilai luhur
Pancasila sebagai warisan leluhur kita.
2. PENDEKATAN EKSPRESIF
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan
yang dalam memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada
sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra
sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan luapan perasaan atau
luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imaginasi sastrawan
yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya.
(Wiyatmi, 2006:82).
TANGGAPAN
Pendekatan ekspresif mengkaji sastra
bertitik-tolak dari kehidupan pengarangnya. Ini berkaitan dengan latar belakang
kehidupan, daerah kelahiran, latar belakang sosialnya, pendidikan, dan
pengalaman yang pernah dilewatkannya. Dalam hal ini karya sastra dianggap
sebagai pancaran kepribadian pengarang, gerak jiwa, pengembangan imajinasi,
fantasi pengarang yang tertuang dalam karyanya.
Novel Biola Tak Berdawai tidak dapat
dipisahkan dari dua pengaruh kehidupan dua orang besar Seno Gumira Adjidharma
dan Sekar Ayu Asmara. Seno Gumira lahir di Boston, 19 Juni 1958. Adjidharma
adalah seorang wartawan dan penulis serba bisa dari generasi baru dalam sastra
Indonesia. Tak kurang dari 25 judul buku yang ditulis Seno, terdiri dari esai,
cerpen, roma dan juga scenario drama dan film. Buku-buku karya Seno beberapa di
antaranya yakni: Atas Nama Malam, Wisanggeni, Sang Buronan, Sepotong Senja
Untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Seno dikenal sebagai seorang penulis situasi di
Timor Timor tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkannya dalam
Trilogi buku Saksi Mata (Kumpulan Cerpen), Jazz, dan insiden (Roman) dan ketika
Jurnalisme dibungkam, sastra Harus Bicara (kumpulan Esai). Seno juga
dianugerahi sejumlah penghargaan, diantaranya South East Asia Write Award.
Sekar Ayu Asmara, adalah sosok kreatif yang enerjik. Lahir di Jakarta, dan
pernah bermukim di Afganistan, Turki serta Belanda. Enerji kreatifnya telah muncul
selama beberapa dasawarsa dalam bentuk dan dimensi yang berbeda-beda. Sekar
pernah berkarir dalam dunia iklan, serta pernah menjadi komposer dan juga
penulis lirik lagu untuk artis-artis papan atas. Ia juga tercatat sebagai
pelukis yang telah berpameran tunggal. Di dunia penerbitan, buku untuk
anak-anak berjudul Ondel-ondel dan Misteri Es Krim yang Hilang merupakan kaarya
tulis pertamanya. Karir dalam dunia film, dimulai dengan menjadi produser dan
sutradara sejumlah video klip dan program televisi. Tahun 2001, sekar terjun
kedunia film menjadi menjadi produser dan produser musik untuk film cerita
Ca-bau-kan. Tahun 2003, Sekar memulai debutnya sebagai penulis, produser dan
sutraara untuk film karya fenomenal Biola tak Berdawai.
Novel Biola Tak Berdawai lahir dari curahan inspirasi dua tokoh besar yang
aktif dalam kehidupan humanistik. Kedua tokoh ini memiliki pengalaman yang
holistik dan menyeluruh. Mereka pernah hidup di beberapa benua. Dunia timur dan
barat. Pengalaman intelek mereka juga luas. Tidak mengherankan bila karya yang
mereka lahir ini sarat dengan muatan pendidikan.
3. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik mengkaji dan
memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan
(ajaran) moral, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan
moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya,
semakin tinggi nilai karya sastra tersebut (Wiyatmi, 2006:86).
TANGGAPAN
Saat kutelan makanan yang disuapkan
ibuku.” Anak pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu yang boleh tinggal
di sini.”Tapi mbak Wid, entah kenapa tersinggung dengan perhatian ibuku yang
dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi. “Anak-anak yang
dibuang orang tuanya.Anak-anak yang bikin malu keluarga. Anak-anak yang
cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama!” ibuku mengimbangi
dengan perlahan. “ Sssst… mbak Wid pun bicara tentang diriku. “Duh Renjani,
Renjani, Renjani… saya tahu kamu sangat sayang sama Dewa, tetapi anak itu
mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa…” Kuperhatikan kedua
perempuan itu. Renjani begitu nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak
Wid yang betapa pun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di rumah
asuh ibu Sejati (hlm.18).
Pada dasarnya novel ini sarat dengan
nilai-nilai moral. Dewa sebgai pribadi autis dan tuna daksa secara fisik
seorang cacat yang diyakini tidak memiliki kemampuan untuk mengerti bahasa
komunikasi manusia normal. Dalam keberadaannya itu renjani tetap memperlakukan Dewa
sebagai mana manusia normal. Ia patut dihargai sebagai manusia yang
bermartabat.
Ketika kehidupan tidak dihargai lagi, ketika nilai-nilai moral dan semangat
cinta kasih tercabik-cabik. Renjani hadir membawa inspirasi dan pengharapan
bagi orng-orang yang tidak berdaya. Apa yang dianggap sebagai mitos bahw a
dengan cinta kasih dan ketulusan hidup dapat diubah. Ini tercermin dalam kisah
ini. Ketulusan cinta Bhisma mendorongnya merawat Dewa ketika Renjani akhirnya
meninggal akibat kanker rahim yang ia derita.
“.Aku ternyata memang mendongak di kuburan, bagaikan melihat ibuku terbang
seperti bidadari di langit. Bhisma tertegun dengan biolanya. Tanpa kusadari
dari mulutku keluar suara. “D…de…f…faa shaa… aaang ..iii..bu..” Bhisma
mengangkat dan mendekapku, seperti mendekap cinta ke dalam hatinya (hlm.191).
Hampir keselurauhan watak Renjani dan
Bhisma merupakan idealisme sebuah totalitas hidup dalam mencintai. Karya ini
menjadi sangat patut dihargai karena memiliki muatan nilai moral yang tinggi.
Cocok utnuk dijadikan sebagai sarana penyampaian pesan moral bagi para pembaca.
Novel ini mempengaruhi pembaca untuk memiliki ketulusan dan semangat untuk
mencintai orang-orang yang tidak berdaya sperti Dewa dan bayi-bayi tuna daksa
lainnya sehingga mereka dapat bertumbuh atau setidaknya mampu bertahan hidup
dengan penderitaan dan situasi kurang menguntungkan yang mereka alami. Yang
menjadi kelemahan dari novel ini adalah jalan cerita yng terlalu idealis.
Apakah masih ada seorang Renjani yang totalitasnya seperti yang terdapat dalam
Novel ini? Apakah novel ini menjadi hanya sebuah dongeng pengantar tidur
belaka?
PENDEKATAN OBJEKTIF
Pendekatan objektif adalah pendekatan
yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang
karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan
realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren (1990) menyebut
pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang
memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. ( Wellek, melalui
Wiyatmi, 2006:87).
TANGGAPAN
Novel biola Tak Berdawai berlatar kota
Yogyakarta pada era tahun 2003. pada umumnya setting diketengahkan di Panti
asuhan anak-anak tuna daksa. Dengan alur penceritaan flashback hal ini dapat
dilihat pada episode novel pada bab 11 (hlm. 77) secara mundur mengisahkan
kembali pengalaman buruk atas tindak perkosaan yang dialami Renjani.
Penceritaan adegan-adegan dalam novel ini diselingi dengan kisah pewayangan hal
ini menyempurnakan penyampaian lapis arti di mana kisah Renjani memiliki
kesamaan dengan kisah pewayangan. Kisah-kisah peayangan ini sekaligus digunakan
untuk menyampaikan stratum metafisika sebagai unsur yang intrinsik dalam
keagungan sebuah tindakan totalitas seorang Renjani dalam pengabdian kepada
anak-anak tuna daksa.
Dengan mengetahui norma-norma karya
sastra ini, tahulah kita sekarang bahwa menilai karya sastra haruslah kita
menilai berdasarkan norma-norma karya sastra itu, kita tidak hanya menilai
“isi” dan “bentuk” karya sastra saja tetapi harus menilai sampai di mana
kekuatan bunyi dapat dilaksanakan pengarang, bagaimana sastrawan menyusun
kata-kata, atau kalimat, menyusun plot, berhasil atau tidakkah, juga sampai di
manakah harga atau nilai pikiran-pikiran pengarang yang diungkapkan dalam karya
lewat norma-normanya itu, dan bagaimana segi-segi atau norma-norma lainnya
(Pradopo,1994:56).
Tanpa dawai, bagaimana biola bisa
bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya-tetapi di sebelah
manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa
disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu
menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu baaikan biola tak
berdawai….(Ajidharma, 2003:1).
Refleksi penulis tentang korelasi
antara jiwa dan tubuh digambarkan dengan memetaforakan antara biola dan dawai
dengan badan dan jiwa. Tanpa dawai bagaimana biola bisa bersuara? Pilihan kata
biola menjadi manifestasi keberadaan tubuh dan jiwa manusia. “menjelmakan jiwa”
pilihan kata yang memiliki peran menghadirkan lapis arti syntgma sekaligus
lapis suara yang menimbulkan efek bunyi yang indah untuk didengar.
“Kehidupan kepompong bergunakah kehidupan seperti itu? Tentu berguan, jika
kepompong Itu akan menjelma menjadi kupu-kupu kembali, melayang menemukan
dirinya kembali. Begitu kuat keinginanku untuk mengembalikan kebahagiaan
ibuku.” (Ajidharma, 2003:81).
Secara keseluruhan gaya penceriataan novel ini memiliki keseimbangan antara
gaya bahasa yang lugas sekaligus penggunaan metafora. Meski pun pemakaian makna
khias cukup tinggi intentitasnya namun bahasa dapat dipahami. Makna dan pesan
mudah dicerna karena bahasanya sederhana dan menarik.
PENUTUP
Dengan mendekati Novel ini dengan
keempat pendekatan yakni lewat pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik dan
objektif, pemahaman tentang esensi terdalam dari pesan Novel Biola tak Berdawai
semakin dapat ditemukan. Selain lewat pengkajian karya sastra ini ditunjukkan
betapa kompleksnya aspek-aspek yang membangun terciptanya novel biola Tak
Berdawai. Pengalaman ini sangat berguna bagi penulis sebagai mahasiswi PBSID
karena lewat pengkajian ini pemahaman tentang hubungan antara ketiga disiplin
ilmu Sejarah Sastra, Kritik Sastra dan Sastra semakin diperkaya. Pengkajian
yang sederhana ini diharapkan dapat diperkembangkan menjadi sesuatu yang
berguna bagi kemajuan bersastra dan kegiatan ilmiah penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidharma,
Seno Gumira, “Biola Tak Berdawai”, PT. Andal Krida Nusantara, Jakarta, 2004
Bertens, “Sketsa-sketsa Moral”, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
_______”Keprihatinan Moral”, Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Pradopo, Rachmat Djoko,”Prinsip-prinsip Kritik Sastra”, Gadjah Mada University
Pres, Yogyakarta, 1994.
Wiyatmi, “Pengantar Kajian Sastra”, Pustaka, Yogyakarta, 2006.