Jumat, 04 April 2014

Filled Under:

KRITIK SASTRA " Biola Tak Berdawai "


Kritik Sastra “Biola Tak Berdawai”
MENGKRITISI SEBUAH KARYA SASTRA
MELALUI EMPAT PENDEKATAN UTAMA

Nama : RISKI PRATAMA
Data Karya Sastra:
Novel Berjudul : “Biola Tak Berdawai”
Pengarang : Seno Gumira Ajidharma
(Adaptasi Film BiolaTak Berdawai)
Penulis Skenario Sekar Ayu Asmara
Tahun Terbit : 2004
Tebal buku : 198 halaman


PENGANTAR

Secara garis besar, berbagai macam pendekatan terhadap karya sastra yang berkembang dalam studi sastra, menurut Abram (Wiyatmi, 2006:78), terdiri dari empat pendekatan utama, yaitu pendekatan (1) mimetik, (2) ekspresif, (3) pragmatik, (4) objektif. Keempat pendekatan tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan seperti pendekatan struktural, semiotik, sosiologi sastra, resepsi sastra, psikologi sastra, dan moral.
Lewat makalah ini penulis akan mendekati Novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Ajidharma dengan keempat pendekatan utama tersebut. Pengkajian diawali dengan mengetengahkan sinopsis, teori tiap pendekatan dan kemudian “membedah” novel dengan pendekatan yang bersangkutan.

SINOPSIS
Renjani meninggalkan Jakarta, untuk mengubur masa lalunya dan keinginannya untuk menjadi penari balet. Ia pindah ke Yogya dan mengabdikan hidupnya dengan merawat anak-anak tuna daksa yang tidak dikehendaki orang tuanya. Ia dibantu oleh seorang dokter berumur 40 tahun. Mbak Wid. Dewa 8 tahun, menjadi anak kesayangan Renjani dan diperlakukan sebagai anak normal. Renjani terkejut melihat reaksi Dewa, ketika iseng-iseng menari balet.
Hal ini yang membuatnya membawa Dewa ke resital biola. Disitu ia berjumpa dengan Bhisma, mahasiswa musik, 23 tahun. Bhisma tertarik pasa penampilan Renjani dari situlah persahabatan terjalin.
1. PENDEKATAN MIMETIK

Karya sastra tidak lahir dari situasi kosong budaya (Teew, 1980:11). Novel ini didekati secara mimetik. Pendekatan mimetic memiliki pandangan bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan atau dunia ide. Bagian refleksi sosial budaya menjadi bahan kajian pendekatan ini. Berikut ini akan disajikan synopsis, analisis dan penilaian terhadap novel “Biola Tak Berdawai”. Sebuah novel yang ditulis oleh Seno Gumira Adjidharma yang sebelumnya berbentuk Film yang skenarionya ditulis oleh sekar Ayu Asmara. Berikut ini lewat pendekatan mimesis kita akan meninjau apakah ada kesesuaian antara dunia nyata dengan dunia ide atau apakah karya ini merupakan cerminan dunia nyata.

TANGGAPAN
Latar realitas bagi novel ini kondisi Yogyakarta, lebih luas lagi Indonesia tahun 2002. Sebuah peradaban yang diwarnai dengan penurunan nilai-nilai moral. Ketika dunia diterjang arus globalisasi sekaligus dengan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Berbagai bentuk pelanggaran menjadi menu harian berbagai media. Termasuk kasus-kasus pembuangan bayi menjadi liputan berita. Sering terjadi bayi-bayi tersebut sebagai hasil hubungan gelap. Ada juga bayi-bayi yang dibuang karena dianggap sebagai aib entah karena lahir cacat atau karena kelahirannya tidak diinginkan.
Tidak jarang juga terjadi pengguguran kandungan atau abortus. Secara etika moral dari saat pertama zigot sudah mempunyai identitas genetis. Semua yang dilakukan di dunia harus menyatakan bahwa dalam arti tertentu mereka beradaa pada saat pembuahan, walaupun embrio muda belum mempunyai identitas persona. (Bertens, 2003:114).
“Kamu buang anakmu?! Sinting kamu Renjani! Kamu gugurkan anakmu ya? Iya Renjani?! Iya?!” (hal 54).
Tokoh Renjani seorang sosok yang pernah menggugurkan kandungannya. Kendati bayi tak berdosa tersebut harus terbentuk akibat hasil perkosaan seharusnya sang bayi memiliki hak untuk hidup. Tetapi tidak terlalu mudah bagi Renjani menerima begitu saja bayi yang tidak diinginkannya itu berkembang dalam rahimnya. Demikianlah dalam kegalauan yang mendalam ia memilih mengakhiri kehidupan sang embrio dari rahimnya.
Moralitas menentang abortus demikian pendapat Soe Tjen marching dalam tulisannya yang bertajuk: “Aborsi, pro life atau pro choice” kompas, 7/7/2003 melibatkan diri dalam suatu diskusi aktual…Pembicaraan ini mengakibatkan pro dan kontra antara legalisir VS anti abortus. Masalahnya adalah apabila kehamilan tidak dikehendaki misalnya karena hasil perkosaan, si wanita tidak menginginkan kehamilannya, di sisi lain janin dalam kandungan juga mempunyai hak hidup. Maka timbullah polarisasi tajam antara pro-chice (pro pilihan) dan pro-life (pro kehidupan) (Bertens, 2004: 139).
Konflik ini diangkat oleh Sekar Ayu Asmara dalam Film Biola Tak Berdawai, yang akhirnya di Novelkan oleh Seno Gumirah Ajidharma.
Memang bayi Cempaka adalah bayi kesekian yang diletakkan di muka pintu pagar…tentu kita masih boleh terheran-heran, jika bayi-bayi tuna daksa dibuang karena keganjilan bentuk upanya, maka alasan membuang bayi yang bukan saja sehat, tetapi juga cantik, montok, dan membuat bahagia setiap orang yang memandangnya? Apakah pembuang bayi itu orang- orang miskin yang kurang pengetahuan? Sepanjang pengalaman pak Kliwon, hanya sekali terjadi da bayi diletakkan seorang pejalan kaki yang datang mengendap-endap di pagi buta. Selebihnya selalu diturunkan dari mobil, yang tidak jarang mewah, dan banyak juga yang nomornya dengan awalan B: mobil-mobil Jakarta. Bahkan Pak Kliwon merasa pernah mengenali wajah salah seorang dari mereka, sebagai wajah yang sering muncul di layer TV. (hal.25).
Fenomena lain diangkat dalam Biola Tak berdawai ini adalah maraknya pembuangan bayi-bayi tak berdosa. Ada yang dibuang di tempat sampah. Ada pula yang diletakkan di depan pintu panti asuhan. Fenomena memprihatinkan ini membawa sebuah kontras yang sangat jelas antara semangat cinta kasih dan ketidakpedulian dalam dalam setiap detil alur cerita novel ini.
Kesimpulan
Gambaran fenomena yang dimuat di dalam novel “Biola tak berdawai” tidak jauh dari realitas sosial yang terjadi saat ini. Hampir setiap hari media massa, baik berupa media cetak maupun televisi menayangkan kasus pembuangan bayi dan abortus. Pergaulan bebas dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai hidup menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran ini.  Di sisi lain diantara keprihatinan yang kian memuncak masihkah ada insan-insan yang menghargai kehidupan seperti sosok Renjani? Renjani yang dulu pernah jatuh dalam pelanggaran pemusnahan sebuah hidup. Pengguguran. Kendati janin itu merupakan hasil perkosaan. Ketidakberdayaannya menerima kehidupan yang lain itu hadir dalam rahimnya membawanya pada suatu bentuk kehidupan yang lain. Yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Meninggalkan gegap-gempitanya hidup sebagai penari balet dan mengasingkan diri merangkul jiwa-jiwa tak berdaya, mendekap biola-biola tak berdawai hingga samara-samar bunyinya terdengar kerelung-relung hati terdalam seorang manusia yang berhati. Kontas antara cinta dan ketidakpedulian terpampang jelas dalam novel ini. Satu hal yang terlalu ideal dalam novel ini adalah: totalitas seorang Renjani yang sudah sangat langka ditemukan pada zaman ini. Kalau pun itu ada pengabdian yang setotal ini hanya ada satu pribadi dalam satu dekade, misalnya: pengabdian penuh cinta Beata Theresia dari Calcutta yang berjuang untuk orang orang miskn dan penderita kusta di India. Totalitas seorang Renjani menjadi semacam bius penghilang rasa sakit atau peri penolong dari negeri dongeng pengantar tidur di saat dunia zaman ini semakin terkoyak oleh kaburnya penghayatan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai warisan leluhur kita.

2. PENDEKATAN EKSPRESIF
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan luapan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imaginasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. (Wiyatmi, 2006:82).

TANGGAPAN 
Pendekatan ekspresif mengkaji sastra bertitik-tolak dari kehidupan pengarangnya. Ini berkaitan dengan latar belakang kehidupan, daerah kelahiran, latar belakang sosialnya, pendidikan, dan pengalaman yang pernah dilewatkannya. Dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang, gerak jiwa, pengembangan imajinasi, fantasi pengarang yang tertuang dalam karyanya.
Novel Biola Tak Berdawai tidak dapat dipisahkan dari dua pengaruh kehidupan dua orang besar Seno Gumira Adjidharma dan Sekar Ayu Asmara. Seno Gumira lahir di Boston, 19 Juni 1958. Adjidharma adalah seorang wartawan dan penulis serba bisa dari generasi baru dalam sastra Indonesia. Tak kurang dari 25 judul buku yang ditulis Seno, terdiri dari esai, cerpen, roma dan juga scenario drama dan film. Buku-buku karya Seno beberapa di antaranya yakni: Atas Nama Malam, Wisanggeni, Sang Buronan, Sepotong Senja Untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Seno dikenal sebagai seorang penulis situasi di Timor Timor tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkannya dalam Trilogi buku Saksi Mata (Kumpulan Cerpen), Jazz, dan insiden (Roman) dan ketika Jurnalisme dibungkam, sastra Harus Bicara (kumpulan Esai). Seno juga dianugerahi sejumlah penghargaan, diantaranya South East Asia Write Award.
Sekar Ayu Asmara, adalah sosok kreatif yang enerjik. Lahir di Jakarta, dan pernah bermukim di Afganistan, Turki serta Belanda. Enerji kreatifnya telah muncul selama beberapa dasawarsa dalam bentuk dan dimensi yang berbeda-beda. Sekar pernah berkarir dalam dunia iklan, serta pernah menjadi komposer dan juga penulis lirik lagu untuk artis-artis papan atas. Ia juga tercatat sebagai pelukis yang telah berpameran tunggal. Di dunia penerbitan, buku untuk anak-anak berjudul Ondel-ondel dan Misteri Es Krim yang Hilang merupakan kaarya tulis pertamanya. Karir dalam dunia film, dimulai dengan menjadi produser dan sutradara sejumlah video klip dan program televisi. Tahun 2001, sekar terjun kedunia film menjadi menjadi produser dan produser musik untuk film cerita Ca-bau-kan. Tahun 2003, Sekar memulai debutnya sebagai penulis, produser dan sutraara untuk film karya fenomenal Biola tak Berdawai.
Novel Biola Tak Berdawai lahir dari curahan inspirasi dua tokoh besar yang aktif dalam kehidupan humanistik. Kedua tokoh ini memiliki pengalaman yang holistik dan menyeluruh. Mereka pernah hidup di beberapa benua. Dunia timur dan barat. Pengalaman intelek mereka juga luas. Tidak mengherankan bila karya yang mereka lahir ini sarat dengan muatan pendidikan.

3. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, semakin tinggi nilai karya sastra tersebut (Wiyatmi, 2006:86).

TANGGAPAN
Saat kutelan makanan yang disuapkan ibuku.” Anak pintar, dan hanya anak-anak pintar seperti kamu yang boleh tinggal di sini.”Tapi mbak Wid, entah kenapa tersinggung dengan perhatian ibuku yang dianggapnya berlebihan. Nada suaranya tiba-tiba meninggi. “Anak-anak yang dibuang orang tuanya.Anak-anak yang bikin malu keluarga. Anak-anak yang cacatnya dobel-dobel. Anak-anak yang umurnya tidak lama!” ibuku mengimbangi dengan perlahan. “ Sssst… mbak Wid pun bicara tentang diriku. “Duh Renjani, Renjani, Renjani… saya tahu kamu sangat sayang sama Dewa, tetapi anak itu mengerti omongan kita. Itu anak tidak mengerti apa-apa…” Kuperhatikan kedua perempuan itu. Renjani begitu nama ibuku, seperti selalu mencoba memaklumi Mbak Wid yang betapa pun seperti telah menyerahkan hidupnya demi bayi-bayi cacat di rumah asuh ibu Sejati (hlm.18).
Pada dasarnya novel ini sarat dengan nilai-nilai moral. Dewa sebgai pribadi autis dan tuna daksa secara fisik seorang cacat yang diyakini tidak memiliki kemampuan untuk mengerti bahasa komunikasi manusia normal. Dalam keberadaannya itu renjani tetap memperlakukan Dewa sebagai mana manusia normal. Ia patut dihargai sebagai manusia yang bermartabat.
Ketika kehidupan tidak dihargai lagi, ketika nilai-nilai moral dan semangat cinta kasih tercabik-cabik. Renjani hadir membawa inspirasi dan pengharapan bagi orng-orang yang tidak berdaya. Apa yang dianggap sebagai mitos bahw a dengan cinta kasih dan ketulusan hidup dapat diubah. Ini tercermin dalam kisah ini. Ketulusan cinta Bhisma mendorongnya merawat Dewa ketika Renjani akhirnya meninggal akibat kanker rahim yang ia derita.
“.Aku ternyata memang mendongak di kuburan, bagaikan melihat ibuku terbang seperti bidadari di langit. Bhisma tertegun dengan biolanya. Tanpa kusadari dari mulutku keluar suara. “D…de…f…faa shaa… aaang ..iii..bu..” Bhisma mengangkat dan mendekapku, seperti mendekap cinta ke dalam hatinya (hlm.191).
Hampir keselurauhan watak Renjani dan Bhisma merupakan idealisme sebuah totalitas hidup dalam mencintai. Karya ini menjadi sangat patut dihargai karena memiliki muatan nilai moral yang tinggi. Cocok utnuk dijadikan sebagai sarana penyampaian pesan moral bagi para pembaca. Novel ini mempengaruhi pembaca untuk memiliki ketulusan dan semangat untuk mencintai orang-orang yang tidak berdaya sperti Dewa dan bayi-bayi tuna daksa lainnya sehingga mereka dapat bertumbuh atau setidaknya mampu bertahan hidup dengan penderitaan dan situasi kurang menguntungkan yang mereka alami. Yang menjadi kelemahan dari novel ini adalah jalan cerita yng terlalu idealis. Apakah masih ada seorang Renjani yang totalitasnya seperti yang terdapat dalam Novel ini? Apakah novel ini menjadi hanya sebuah dongeng pengantar tidur belaka?

PENDEKATAN OBJEKTIF       
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. ( Wellek, melalui Wiyatmi, 2006:87).

TANGGAPAN 
Novel biola Tak Berdawai berlatar kota Yogyakarta pada era tahun 2003. pada umumnya setting diketengahkan di Panti asuhan anak-anak tuna daksa. Dengan alur penceritaan flashback hal ini dapat dilihat pada episode novel pada bab 11 (hlm. 77) secara mundur mengisahkan kembali pengalaman buruk atas tindak perkosaan yang dialami Renjani. Penceritaan adegan-adegan dalam novel ini diselingi dengan kisah pewayangan hal ini menyempurnakan penyampaian lapis arti di mana kisah Renjani memiliki kesamaan dengan kisah pewayangan. Kisah-kisah peayangan ini sekaligus digunakan untuk menyampaikan stratum metafisika sebagai unsur yang intrinsik dalam keagungan sebuah tindakan totalitas seorang Renjani dalam pengabdian kepada anak-anak tuna daksa.
Dengan mengetahui norma-norma karya sastra ini, tahulah kita sekarang bahwa menilai karya sastra haruslah kita menilai berdasarkan norma-norma karya sastra itu, kita tidak hanya menilai “isi” dan “bentuk” karya sastra saja tetapi harus menilai sampai di mana kekuatan bunyi dapat dilaksanakan pengarang, bagaimana sastrawan menyusun kata-kata, atau kalimat, menyusun plot, berhasil atau tidakkah, juga sampai di manakah harga atau nilai pikiran-pikiran pengarang yang diungkapkan dalam karya lewat norma-normanya itu, dan bagaimana segi-segi atau norma-norma lainnya (Pradopo,1994:56).
Tanpa dawai, bagaimana biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya-tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu baaikan biola tak berdawai….(Ajidharma, 2003:1).
Refleksi penulis tentang korelasi antara jiwa dan tubuh digambarkan dengan memetaforakan antara biola dan dawai dengan badan dan jiwa. Tanpa dawai bagaimana biola bisa bersuara? Pilihan kata biola menjadi manifestasi keberadaan tubuh dan jiwa manusia. “menjelmakan jiwa” pilihan kata yang memiliki peran menghadirkan lapis arti syntgma sekaligus lapis suara yang menimbulkan efek bunyi yang indah untuk didengar.
“Kehidupan kepompong bergunakah kehidupan seperti itu? Tentu berguan, jika kepompong Itu akan menjelma menjadi kupu-kupu kembali, melayang menemukan dirinya kembali. Begitu kuat keinginanku untuk mengembalikan kebahagiaan ibuku.” (Ajidharma, 2003:81).
Secara keseluruhan gaya penceriataan novel ini memiliki keseimbangan antara gaya bahasa yang lugas sekaligus penggunaan metafora. Meski pun pemakaian makna khias cukup tinggi intentitasnya namun bahasa dapat dipahami. Makna dan pesan mudah dicerna karena bahasanya sederhana dan menarik.


PENUTUP         
Dengan mendekati Novel ini dengan keempat pendekatan yakni lewat pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik dan objektif, pemahaman tentang esensi terdalam dari pesan Novel Biola tak Berdawai semakin dapat ditemukan. Selain lewat pengkajian karya sastra ini ditunjukkan betapa kompleksnya aspek-aspek yang membangun terciptanya novel biola Tak Berdawai. Pengalaman ini sangat berguna bagi penulis sebagai mahasiswi PBSID karena lewat pengkajian ini pemahaman tentang hubungan antara ketiga disiplin ilmu Sejarah Sastra, Kritik Sastra dan Sastra semakin diperkaya. Pengkajian yang sederhana ini diharapkan dapat diperkembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi kemajuan bersastra dan kegiatan ilmiah penulis.


DAFTAR PUSTAKA

Ajidharma, Seno Gumira, “Biola Tak Berdawai”, PT. Andal Krida Nusantara, Jakarta, 2004
Bertens, “Sketsa-sketsa Moral”, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
_______”Keprihatinan Moral”, Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Pradopo, Rachmat Djoko,”Prinsip-prinsip Kritik Sastra”, Gadjah Mada University Pres, Yogyakarta, 1994.
Wiyatmi, “Pengantar Kajian Sastra”, Pustaka, Yogyakarta, 2006.

0 komentar:

Posting Komentar

tulislah komentar yang baik, kalau kritik boleh untuk membangun blog

Copyright @ 2013 AGUNG_NET BLOG.